Masa pemerintahan Sanherib

Kemangkatan Sargon II dan suksesi

Gambaran luas wilayah Kemaharajaan Asyur Baru di kawasan Timur Dekat pada tahun 700 SM

Pada tahun 705 SM, Sargon, yang mungkin sudah memasuki usia enam puluhan, memimpin angkatan perang Asyur memerangi Raja Gurdî, penguasa negeri Tabal yang terletak di tengah-tengah jazirah Anatolia. kempen ketenteraan ini berbuntut malapetaka bagi Asyur. Angkatan perang Asyur mengalami kekalahan, bahkan Sargon gugur di medan perang dan jenazahnya hilang digondol musuh.[7][23] Kemangkatan Sargon memperparah kekalahan Asyur, kerana bangsa Asyur percaya bahwa Sargon mati diazab para dewa lantaran dosa-dosa besar yang pernah ia perbuat. Menurut kepercayaan Mesopotamia, jika seseorang gugur di medan perang dan jenazahnya tidak dikubur, maka arwahnya akan terlunta-lunta seperti pengemis di alam baka.[24] Sanherib diperkirakan berumur 35 tahun saat naik takhta pada bulan Agustus 705 SM.[25] Walaupun baru menjadi raja, Sanherib sudah sangat berpengalaman memimpin, kerana terbiasa menangani urusan pemerintahan selama menjadi Putera mahkota.[26] Ia menyikapi nasib Sargon dengan menjauhkan diri dari bayang-bayangnya.[27] Eckart Frahm menyifatkan sikap Sanherib ini sebagai "penyangkalan yang nyaris paripurna". Ia mengemukakan di dalam karya tulisnya bahwa Sanherib "sepertinya tidak sanggup menerima kenyataan dan mengikhlaskan kemalangan yang menimpa Sargon". Sanherib segera memindahkan ibu negara Kemaharajaan Asyur Baru dari Dur-Syarukin ke Niniwe. Salah satu kebijakan perdana Sanherib adalah membangun kembali sebuah kuil di kota Tarbisu, tempat orang menyembah Nergal, dewa yang dikait-kaitkan dengan maut, musibah, dan peperangan.[24]

Walaupun terang-terangan menunjukkan sikap penyangkalannya, Sanherib sangat percaya takhayul. Ia menghabiskan banyak waktu bersama para ahli nujum untuk mencari tahu dosa macam apa yang sudah diperbuat Sargon sampai diganjari nasib semacam itu. Mungkin saja pernah terbersit dugaan di dalam benaknya bahwa dosa Sargon yang sudah membangkitkan murka dewa-dewa Babel adalah tindakan merebut kota Babel.[28] Sebuah naskah, yang mungkin sekali ditulis sesudah Sanherib mangkat, menyebutkan bahwa Sanherib mengumumkan kesibukannya menyelidiki hakikat suatu "dosa" yang diperbuat ayahnya.[29] Pada tahun 704 SM,[30] Asyur melancarkan kempen ketenteraan kecil-kecilan (tidak disebutkan di dalam catatan-catatan sejarah terkemudian mengenai Sanherib) melawan Raja Gurdî di Tabal untuk membalaskan dendam atas kematian Sargon. kempen ini tidak dipimpin langsung oleh Sanherib, melainkan oleh para pembesar bawahannya. Sanherib menghabiskan banyak waktu dan usaha untuk membersihkan Kemaharajaan Asyur Baru dari citra Sargon. Lantai pelataran kuil di kota Asyur sengaja ia tinggikan agar menutupi citra-citra yang dibuat Sargon. Ketika isteri Sargon yang bernama Ataliya wafat, jenazahnya dengan segera dimakamkan dan dijejalkan ke dalam peti mati permaisuri Tiglat-Pileser. Nama Sargon tidak pernah disebut-sebut di dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan Sanherib.[31]

kempen ketenteraan pertama di Babel

Gambar sosok musuh besar Sanherib, Marduk-apla-idina II (kiri), tokoh yang menjadi Raja Babel selama kurun waktu 722–710 SM dan 704/703–702 SM, sekaligus biang keladi dari banyak konflik yang timbul menjelang akhir hayat Sanherib

Kemangkatan Sargon di medan perang maupun ketidakjelasan ihwal keberadaan jenazahnya dijadikan alasan untuk memberontak di berbagai pelosok wilayah Kemaharajaan Asyur Baru.[7] Sargon mulai memerintah Babel pada tahun 710 SM, sesudah mengalahkan Marduk-apla-idina II, pemimpin orang Kasdim yang menguasai Babel sesudah Salmaneser V mangkat pada tahun 722 SM.[6] Sama seperti Salmaneser, Sanherib naik takhta dengan gelar ganda, Raja Asyur merangkap Raja Babelwalaupun kekuasaannya atas Babel tidak begitu kukuh.[28] Tidak seperti Sargon dan para penguasa Babel terdahulu yang hanya menyatakan diri sebagai Syakanaku Babili (Patih Babel) demi menghormati Marduk, dewa yang dimuliakan sebagai raja resmi kota Babel, Sanherib justru terang-terangan menyatakan diri sebagai Raja Babel. Ia bahkan tidak "menjabat tangan" patung Marduk, penjelmaan sang dewa, dan dengan demikian tidak memuliakannya dengan menjalankan adat penobatan Babel sebagaimana mestinya.[32]

Tindakan yang dianggap lancang ini menyulut kemarahan rakyat, sehingga timbul pemberontakan-pemberontakan yang hanya berselang satu bulan pada tahun 704[6] atau 703 SM[28] untuk menumbangkan kekuasaan Sanherib di kawasan selatan. Mula-mula seorang tokoh Babel yang bernama Marduk-zakir-syumi II merebut takhta Babel, tetapi ditumbangkan dua[28] atau empat minggu kemudian[6] oleh Marduk-apla-idina, pemimpin kabilah Kasdim yang sebelumnya pernah merebut takhta Babel dan berperang melawan ayah Sanherib. Marduk-apla-idina mengerahkan sebahagian besar rakyat Babel untuk berperang demi kepentingannya, baik warga perkotaan maupun laskar-laskar kabilah Kasdim. Ia juga mendatangkan pasukan dari Elam, negeri yang kini menjadi kawasan barat daya negara Iran. Sebenarnya Marduk-apla-idina perlu banyak waktu untuk mengumpulkan seluruh pasukan koalisi tersebut, tetapi Sanherib lamban dalam menanggapi pemberontakan ini, sehingga Marduk-apla-idina leluasa menempatkan pasukan dalam jumlah besar di kota Kuta dan kota Kisy.[33]

Sebahagian angkatan perang Asyur sedang ditugaskan di Tabal pada tahun 704 SM. Sikap lamban Sanherib mungkin didasari pertimbangan bahwa berperang serentak di dua tempat sekaligus terlalu berisiko, akibatnya Marduk-apla-idina leluasa beberapa bulan lamanya. Pada tahun 703 SM, sesudah ekspedisi ketenteraan di Tabal tuntas, Sanherib menghimpun angkatan perang Asyur di kota Asyur, lokasi yang kerap dijadikan titik kumpul pasukan sebelum menyerbu kawasan selatan.[30] Serbuan angkatan perang Asyur di bawah pimpinan panglima tertingginya tidak berhasil mengalahkan pasukan lawan di dekat kota Kisy, sehingga koalisi bentukan Marduk-apla-idina semakin merasa di atas angin.[34] Walaupun demikian, Sanherib menyadari kenyataan bahwa angkatan perang lawan sesungguhnya terbagi-bagi, oleh kerana itu ia mengerahkan segenap angkatan perang Asyur untuk menyerang dan menghancurkan sebahagian angkatan perang lawan yang ditempatkan di Kuta, baru kemudian menggempur Kisy. Marduk-apla-idina sudah lebih dulu melarikan diri meninggalkan medan perang kerana mengkhawatirkan keselamatan nyawanya.[33] Tawarikh Sanherib menyebutkan bahwa di antara orang-orang yang dijadikan tawanan pascakemenangan Asyur terdapat pula anak tiri Marduk-apla-idina dan saudara lelaki Yati'ah, seorang ratu Arab yang ikut bergabung dalam koalisi Marduk-apla-idina.[35]

Sanherib selanjutnya memimpin angkatan perang Asyur bergerak menuju Babel.[36] Begitu barisan angkatan perang Asyur terlihat di kaki langit, warga Babel segera membuka pintu gapura kota besar itu. Babel menyerah tanpa perlawanan.[34] Kota itu diberi teguran keras dan dijarah sedikit,[34] tetapi warganya tidak dicelakai.[37] Sesudah beristirahat sebentar di Babel, Sanherib dan angkatan perang Asyur melancarkan serangan sistematis ke pelosok selatan Kerajaan Babel yang masih dijadikan basis perlawanan terorganisasi. Baik daerah-daerah kabilah maupun kota-kota besar akhirnya dapat ditundukkan.[36] Tawarikh Sanherib menyebutkan bahwa ada sekitar dua ratus ribu orang yang dijadikan tawanan.[35] kerana kebijakan merangkap jabatan terbukti gagal, Sanherib mencoba cara lain, yakni mengangkat Bel-ibni, tokoh asli Babel yang tumbuh besar di lingkungan istana Asyur, menjadi raja bawahannya di kawasan selatan. Sanherib menyifatkan Bel-ibni sebagai "bumiputera Babel yang membesar di istanaku tak ubahnya seekor anak anjing".[28]

Perang di Masyrik

Gambar-gambar dari relief Lakhis yang dibuat atas perintah Sanherib
Senjata pengepungan Asyur digunakan menggempur tembok kota Lakhis
Prajurit Asyur hendak memancung tawanan dari Lakhis
Orang Yudea digiring ke pengasingan sesudah Lakhis jatuh ke tangan Asyur
Sanherib (duduk paling kanan) berbincang dengan para petinggi Asyur sambil memeriksa para tawanan di Lakhis

Seusai perang di Babel, Sanherib melancarkan kempen ketenteraannya yang kedua di daerah Pegunungan Zagros. Dalam kempen ketenteraan ini, ia berhasil menundukkan orang Yasubigala, kabilah dari sebelah timur Sungai Tigris, dan orang Kasi, kabilah yang pernah menguasai Babel berabad-abad silam.[38][39] Sasaran kempen ketenteraannya yang ketiga adalah kerajaan-kerajaan dan negara-negara kota di Masyrik. kempen ketenteraan ini adalah peristiwa yang paling lengkap keterangannya dibanding banyak peristiwa sejarah lain di Timur Dekat pada Abad Kuno, sekaligus peristiwa yang paling lengkap uraiannya di dalam catatan sejarah Israel pada kurun waktu Bait Allah Pertama.[4] Pada tahun 705 SM, Hizkia, Raja Yehuda, menghentikan penyetoran upeti tahunan ke Asyur dan mulai menjalankan kebijakan luar negeri yang agresif. Keputusan Hizkia ini mungkin terinspirasi oleh gelombang pemberontakan anti-Asyur yang belum lama usai di berbagai pelosok wilayah kemaharajaan itu. Sesudah bersekongkol dengan Mesir (ketika itu dikuasai bangsa Kusy) dan Sidqia, Raja Askelon yang anti-Asyur, untuk menghimpun dukungan, Hizkia menyerbu kota-kota bangsa Filistin yang setia kepada Asyur. Padi, Raja Ekron bawahan Asyur, dijadikan tawanan dan dijebloskan ke dalam penjara di Yerusalem.[7] Di kawasan utara Masyrik, kota-kota bekas jajahan Asyur bersekutu di bawah pimpinan Luli, Raja Tirus dan Sidon.[35] Marduk-apla-idina, musuh besar Sanherib, menghasut sejumlah penguasa bawahan Asyur di kawasan barat untuk membangkang. Ia menyurati dan mengirim hadiah-hadiah kepada para penguasa di kawasan barat seperti Hizkia, mungkin dengan harapan dapat membentuk aliansi besar anti-Asyur.[28]

Pada tahun 701 SM, Sanherib mengerahkan angkatan perang Asyur untuk menyerbu kota-kota orang Suriah-Het dan orang Fenisia di kawasan utara Masyrik. Sama seperti yang pernah dilakukan dan akan diulangi banyak penguasa kota-kota tersebut, Luli memilih melarikan diri dengan perahu ketimbang menghadapi murka Asyur. Sanherib mengangkat seorang bangsawan bernama Etbaal menjadi Raja Sidon menggantikan Luli, dan mengawasi proses penaklukan kota-kota di sekitarnya. Melihat angkatan perang Asyur yang begitu besar, banyak penguasa Masyrik, termasuk Budu-ilu Raja Amon, Kamusu-nadbi Raja Moab, Mitini Raja Asdod, dan Malik-ramu Raja Edom, cepat-cepat menyerah kepada Sanherib demi meluputkan diri dan negeri mereka dari angkara murkanya.[40]

Perlawanan di kawasan selatan Masyrik tidak semudah itu dipatahkan, sehingga Sanherib terpaksa mengceroboh kawasan tersebut. Sesudah merebut Askelon dan mengalahkan Sidqia, angkatan perang Asyur mengepung dan merebut banyak kota lain. Ketika angkatan perang Asyur bersiap-siap merebut kembali kota Ekron, Sekutu Hizkia, Mesir, mulai ikut campur. Angkatan perang Asyur mengalahkan angkatan perang Mesir dalam sebuah pertempuran di dekat kota Elteke. Kota Ekron dan Timna jatuh ke tangan Asyur, sehingga Kerajaan Yehuda tidak lagi memiliki sekutu, sementara mata Sanherib mulai tertuju ke Yerusalem.[40] Sanherib mengerahkan sebahagian pasukannya untuk memblokade Yerusalem, sementara ia sendiri memimpin aksi pengepungan kota Lakhis. Kemungkinan besar blokade atas Yerusalem maupun pengepungan Lakhis mampu menghambat arus bantuan dari Mesir kepada Hizkia, sekaligus mampu mengintimidasi para penguasa kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di kawasan itu. Pengepungan Lakhis, yang berakhir dengan penghancurannya, juga berlangsung sangat lama sampai-sampai pihak bertahan terpaksa menggunakan mata panah dari tulang kerana sudah kehabisan logam. Untuk merebut kota itu, bangsa Asyur menumpuk batu dan tanah menjadi sebuah bukit setinggi tembok kota Lakhis. Sesudah menghancurleburkan kota itu, bangsa Asyur mendeportasi warga yang selamat ke wilayah Kemaharajaan Asyur Baru. Sebahagian dijadikan tenaga kerja paksa di projek-projek pembangunan negara, sementara sisanya dijadikan anggota pasukan pengawal Sanherib.[41]

Pengepungan Yerusalem

Gambar cukil kayu karya Gustave Doré dari abad ke-19 yang menggambarkan Malaikat Tuhan menumpas angkatan perang Sanherib di luar kota Yerusalem seperti yang diriwayatkan di dalam Alkitab

Catatan mengenai peristiwa pengepungan Yerusalem yang dibuat Sanherib diawali dengan kalimat, "sedangkan Hizkia... seperti burung di dalam sangkar, kukurung dia di Yerusalem, ibu negara kerajaannya, kurintangi jalan-jalannya dengan kubu-kubu, dan kuharamkan dirinya untuk keluar melalui gapura kotanya." Demikianlah cara Sanherib memblokade Yerusalem, kendati ketiadaan aktivitas ketenteraan berskala besar dan peralatan tempur yang memadai menunjukkan bahwa yang dilakukan Sanherib mungkin sekali bukan aksi pengepungan penuh.[42] Menurut keterangan Alkitab, seorang pejabat senior Asyur bergelar juru minuman agung berdiri di depan tembok Yerusalem dan menyeru warganya untuk menyerah, disertai ancaman bahwa orang Yudea bakal 'makan tinja dan minum air seni' kalau pengepungan terus berlanjut.[43] Catatan Asyur mengenai operasi ketenteraan ini dapat menciptakan kesan bahwa Sanherib hadir di lokasi kejadian, tetapi sesungguhnya tidak pernah dinyatakan demikian secara eksplisit, dan relief-relief yang menggambarkan operasi tersebut menampilkan sosok Sanherib menduduki singgasana di Lakhis alih-alih memantau persiapan menyerang Yerusalem. Menurut keterangan Alkitab, duta Asyur yang diutus menemui Hizkia kembali menghadap Sanherib dan mendapatinya sedang sibuk menggempur kota Libna.[44]

Keterangan Alkitab mengenai blokade tersebut berbeda dari pemerian aksi pengepungan di dalam Tawarikh Sanherib maupun relief-relief pada dinding istana Sanherib di Niniwe, yang justru menggambarkan kesuksesan operasi pengepungan kota Lakhis alih-alih kejadian yang berlangsung di Yerusalem. Walaupun blokade kota Yerusalem bukan sebuah aksi pengepungan penuh, semua sumber pustaka yang tersedia saat ini menginformasikan bahwa sepasukan besar prajurit Asyur berkemah di dekat kota itu, kemungkinan besar di sisi utaranya.[45]Walaupun sudah jelas blokade kota Yerusalem berakhir tanpa pertempuran yang berarti, bagaimana pengepungan itu diakhiri dan apa yang menghalangi kekuatan tempur Asyur yang begitu besar untuk menguasai kota itu tidak dapat dipastikan. Riwayat Alkitab mengenai akhir serangan Sanherib atas Yerusalem menyebutkan bahwa sekalipun prajurit-prajurit Hizkia berjaga-jaga di atas tembok kota, siap sedia melawan gempuran Asyur, tetapi penumpas 185.000 orang prajurit Asyur di depan gapura Yerusalem adalah suatu entitas yang disebut "malaikat pemusnah" utusan Yahweh.[46] Sejarawan Yunani Kuno, Herodotos, menyebut akhir operasi ketenteraan tersebut sebagai kegagalan Asyur akibat "tikus ladang dalam jumlah besar" yang menyerbu perkemahan prajurit Asyur dan merusak benda-benda penting seperti bumbung anak panah dan tali busur, sehingga angkatan perang Asyur terpaksa mundur lantaran kelangkaan senjata.[44] Mungkin saja cerita serbuan tikus ini adalah alusi untuk semacam penyakit yang berjangkit di perkemahan prajurit Asyur, mungkin wabah septisemia.[47] Pada tahun 2001, jurnalis Henry T. Aubin mengajukan hipotesis alternatif bahwa blokade kota Yerusalem mungkin berakhir kerana ada intervensi ketenteraan bangsa Kusy dari Mesir.[48] Namun, intervensi ketenteraan tersebut dianggap mustahil mampu membuat pihak Asyur menderita kekalahan, apalagi tawarikh-tawarikh Babel dari masa itu tidak menyajikan keterangan apa-apa, padahal pujangga-pujangga Babel gemar sekali mencatat kegagalan-kegagalan Asyur.[8]

Walaupun blokade kota Yerusalem agaknya berakhir tanpa sebab yang jelas, kempen ketenteraan Sanherib di Masyrik berakhir dengan kemenangan di pihak Asyur. Sesudah bangsa Asyur merebut banyak kota berbenteng milik Yudea, serta menghancurkan beberapa kota kecil dan desa-desa di kerajaan itu, Hizkia akhirnya sadar bahwa aktivitas-aktivitas anti-Asyur yang dilakukannya tidak didasari pertimbangan politik dan ketenteraan yang matang, dan akhirnya malah mendatangkan bencana. Oleh kerana itu ia sekali lagi menyatakan kesediaannya menjadi jajahan Asyur. Hizkia diwajibkan menyetor upeti dalam jumlah yang lebih besar daripada sebelumnya, bahkan mungkin diperberat lagi dengan denda dalam jumlah besar dan keharusan menyetor upeti yang tertunggak dari tahun 705 sampai 701 SM.[7] Ia harus pula membebaskan Padi, Raja Ekron yang dipenjarakannya di Yerusalem.[49] Selain itu, cukup banyak tanah Yudea dikaruniakan Sanherib kepada kerajaan-kerajaan tetangganya, yakni Gaza, Asdod, dan Ekron.[50]

Mengatasi masalah Babel

Relief dari masa pemerintahan Sanherib yang menggambarkan barisan prajurit pengumban Asyur melontarkan batu ke kota musuh

Pada tahun 700 SM, Kerajaan Babel sekali lagi bergolak, sampai-sampai Sanherib harus mengceroboh kerajaan itu dan menegakkan kembali kedaulatannya. Pemerintahan Bel-ibni waktu itu ditentang pemberontakan-pemberontakan terbuka yang dikobarkan dua orang pemimpin kabilah Kasdim, yakni Suzubu (kemudian hari menjadi Raja Babel dengan nama Musyezib-Marduk) dan Marduk-apla-idina yang sudah lanjut usia.[51] Salah satu tindakan pertama Sanherib untuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan tersebut adalah mencopot Bel-ibni dari jabatannya selaku Raja Babel, baik dengan alasan ketidakcakapan maupun keterlibatan dalam usaha makar.[28] Bel-Ibni dipulangkan ke Asyur dan selanjutnya menghilang dari catatan sejarah.[52] Bangsa Asyur mencari jejak keberadaan Suzubu sampai ke daerah rawa-rawa di kawasan utara Kerajaan Babel tetapi tidak berhasil menemukannya. Sanherib kemudian memburu Marduk-apla-idina, tetapi pemimpin kabilah Kasdim itu berhasil meloloskan diri bersama warganya dengan cara berperahu mengarungi perairan Teluk Persia dan selanjutnya bersuaka di Nagitu, sebuah kota di wilayah Kerajaan Elam. Walaupun berhasil memadamkan pemberontakan, Sanherib sekali lagi mencoba metode lain untuk mengendalikan Kerajaan Babel. Ia mengangkat anaknya, Asyur-nadin-syumi, menjadi Raja Babel bawahan Asyur.[53]

Asyur-nadin-syumi juga dianugerahi gelar māru rēštû, yang dapat diartikan "Putera utama" maupun "Putera sulung". Jabatan maupun gelar baru tersebut menyiratkan bahwa Asyur-nadin-syumi sedang dipersiapkan Sanherib menjadi Raja Asyur berikutnya. Jika diartikan "Putera utama", maka gelar māru rēštû hanya layak disandang seorang Putera mahkota, dan jika diartikan "Putera sulung", maka gelar tersebut menyiratkan bahwa Asyur-nadin-syumi adalah ahli waris Sanherib. Pada umumnya bangsa Asyur mengamalkan prinsip primogenitur, yakni adat pewarisan kepada Putera tertua.[54] Bukti lain yang mendukung dugaan bahwa Asyur-nadin-syumi berstatus Putera mahkota adalah tindakan Sanherib mendirikan sebuah istana baginya di kota Asyur.[55] Kemudian hari, Sanherib juga mendirikan sebuah istana bagi Esarhadon, Putera mahkota berikutnya. Selaku Raja Babel berkebangsaan Asyur, Asyur-nadin-syumi menempati posisi yang penting secara politik sekaligus sangat rawan, dan posisi tersebut dapat ia jadikan kesempatan untuk memperkaya pengalaman selaku calon kuat Maharaja Asyur Baru berikutnya.[56]

Pada tahun-tahun sesudah itu, Babel relatif tenang, dan tidak ada keterangan di dalam tawarikh mengenai aktivitas yang signifikan.[52] Sementara itu, Sanherib berperang di tempat lain. kempen ketenteraannya yang kelima pada tahun 699 SM mencakup serangkaian aksi penyerbuan ke desa-desa di kaki Gunung Judi, yang terletak di sebelah timur laut kota Niniwe. Panglima-panglima bawahan Sanherib memimpin kempen-kempen kecil lainnya tanpa kehadiran sang raja, termasuk sebuah ekspedisi ketenteraan pada tahun 698 SM dalam rangka memadamkan pemberontakan yang dikobarkan Kirua, kepala daerah Kilikia berkebangsaan Asyur, dan kempen ketenteraan pada tahun 695 SM yang dilancarkan terhadap kota Tegarama.[57] Pada tahun 694 SM, Sanherib mengceroboh Elam. ceroboh tersebut dilancarkan dengan maksud menumpas Marduk-apla-idina dan para pengungsi Kasdim lainnya.[52]

kempen ketenteraan di Elam dan balas dendam

Relief kapal perang Asyur dari zaman Sanherib
Relief pasukan Asyur memboyong tawanan dan jarahan, juga dari zaman Sanherib

Dalam rangka menyerang Elam, Sanherib menyiapkan dua armada besar, satu armada di Sungai Efrat dan satu armada di Sungai Tigris. Armada di Sungai Tigris digunakan mengangkut angkatan perang Asyur ke kota Opis. Sesudah berlabuh di Opis, kapal-kapal dihela ke pantai dan diangkut lewat darat ke sebuah terusan yang terhubung dengan Sungai Efrat. Kedua armada selanjutnya bergabung dan menghilir ke Teluk Persia. Ketika armada berlabuh di daerah pertemuan muara Sungai Efrat dan Teluk Persia, turun hujan badai yang membuat perkemahan angkatan perang Asyur tergenang banjir, sehingga para prajurit terpaksa berlindung di atas kapal.[58] Armada kemudian melanjutkan pelayaran mengarungi perairan Teluk Persia. Isi Tawarikh Sanherib mengindikasikan bahwa pelayaran tersebut ditempuh dengan penuh kesukaran, kerana angkatan perang Asyur diriwayatkan berkali-kali mempersembahkan kurban kepada Ea, dewa laut.[59]

Sesudah mendarat dengan selamat di pantai negeri Elam, angkatan perang Asyur segera memburu dan menyerang rombongan pengungsi Kasdim. Baik sumber-sumber Babel maupun sumber-sumber Asyur menyebutkan bahwa kempen ketenteraan ini berjalan lancar.[60] Keterangan tertulis peninggalan Sanherib menyebutnya sebagai "kemenangan besar", bahkan memerinci nama kota-kota yang direbut dan dijarah angkatan perang Asyur. Walaupun Sanherib akhirnya dapat membalaskan dendamnya kepada Marduk-apla-idina, musuh besarnya itu sudah wafat sebelum pendaratan angkatan perang Asyur di Elam.[59] Sasaran kempen ketenteraan ini selanjutnya beralih ke Elam kerana Halusyu-Insyusyinak, Raja Elam, mengceroboh Kerajaan Babel selagi angkatan perang Asyur berada jauh di luar negeri. Dengan bantuan laskar-laskar Kasdim yang luput dari pembantaian, Halusyu-Insyusyinak merebut kota Sipar, bahkan berhasil menawan Asyur-nadin-syumi dan membawanya ke Elam.[60] Asyur-nadin-syumi tidak lagi terdengar kabar beritanya sejak saat itu, mungkin kerana dihukum mati.[61][62] Nergal-usyezib, seorang bumiPutera Babel, naik takhta menjadi Raja Babel menggantikan Asyur-nadin-syumi.[61] Sumber-sumber Babel menyebutkan bahwa Halusyu-Insyusyinak yang mengangkat Nergal-usyezib menjadi Raja Babel, sementara sumber-sumber Asyur menyebutkan bahwa Nergal-usyezib naik takhta sebagai raja pilihan rakyat Babel.[60]

Saat dikepung pihak Elam di kawasan selatan Kerajaan Babel, angkatan perang Asyur berhasil menewaskan Putera Halasyu-Insyusyinak dalam sebuah pertempuran, tetapi tidak dapat menerobos kepungan sekurang-kurangnya selama sembilan bulan. Demi mengukuhkan kedudukannya selaku Raja Babel, Nergal-usyezib memanfaatkan situasi untuk merebut dan menjarah kota Nipur. Beberapa bulan kemudian, angkatan perang Asyur menyerbu dan merebut kota Uruk di kawasan selatan. Nergal-usyezib menjadi gentar dan meminta bantuan Elam. Tujuh hari sesudah merebut Uruk, Asyur dan Babel bertempur di Nipur. Pertempuran ini dimenangkan pihak Asyur. Angkatan perang Asyur mampu menyudutkan angkatan perang gabungan Elam-Babel dan menawan Nergal-usyezib, sehingga akhirnya bebas dari kepungan yang memerangkap mereka di kawasan selatan. Dengan cara-cara tertentu yang tidak diketahui, Sanherib berhasil lolos dari pantauan angkatan perang gabungan Elam-Babel beberapa bulan sebelumnya sehingga tidak hadir di medan perang saat berlangsungnya pertempuran terakhir, malah kemungkinan besar sedang bergerak menuju lokasi pertempuran dengan membawa bala bantuan dari Asyur. Begitu bala bantuan bergabung dengan angkatan perang Asyur di selatan, Kerajaan Babel akhirnya dapat ditundukkan.[63]

Tidak lama kemudian, timbul pemberontakan di Elam. Halusyu-Insyusyinak digulingkan dan Kutir-Nahunte III naik takhta. Untuk meniadakan ancaman Elam, Sanherib merebut kembali kota Der yang diduduki Elam sejak konflik terakhir, kemudian bergerak memasuki kawasan utara wilayah Elam. Kutir-Nahunte tidak dapat mengupayakan pertahanan yang efisien untuk menghadapi pasukan Asyur, bahkan menolak melawan mereka. Ia malah melarikan diri ke kota Haidalu yang terletak di daerah pegunungan. Tidak lama sesudah itu, cuaca buruk memaksa Sanherib menarik mundur pasukan dan pulang ke Asyur.[64]

Penghancuran kota Babel

Prisma Sanherib, prasasti berisi riwayat kempen-kempen ketenteraan Sanherib yang berpuncak pada penghancuran kota Babel

Walaupun Sanherib sudah mengalahkan Nergal-usyezib dan memorakporandakan negeri Elam, Kerajaan Babel belum juga menyerah. Suzubu, tokoh yang diburu-buru Sanherib sewaktu mengceroboh kawasan selatan pada tahun 700 SM, kembali muncul dengan nama baru, Musyezib-Marduk. Ia berhasil menduduki takhta Kerajaan Babel, agaknya tanpa bantuan asing. Musyezib-Marduk sudah menjadi Raja Babel pada tahun 692 SM, tetapi baru dikatakan "memberontak" di dalam sumber-sumber Asyur pada tahun 691 SM, sehingga mungkin Sanherib mula-mula membenarkannya memerintah Babel. Di Elam, Kutir-Nahunte III terguling dari takhta dan digantikan Humban-Numena III (juga dikenal dengan nama Menanu) yang mulai membentuk lagi sebuah koalisi anti-Asyur. Musyezib-Marduk berhasil menyuap Human-Numena untuk mendukungnya.[65] Sumber-sumber Asyur menilai keputusan Humban-Numena untuk mendukung Kerajaan Babel sebagai tindakan yang tidak cerdas, dan menyifatkannya sebagai "manusia tak berakal atau tak bernalar".[66]

Sanherib maju menghadapi musuh-musuhnya dalam pertempuran yang berlangsung di dekat kota Halule. Humban-Numena dan panglimanya, Humban-undasya, memimpin angkatan perang Babel dan Elam. Hasil Pertempuran Halule tidaklah jelas, kerana kedua belah pihak mengaku sebagai pemenang. Tawarikh Sanherib mengklaim bahwa Humban-undasya tewas terbunuh dan raja-raja musuh lari menyelamatkan diri, sementara tawarikh Babel mengklaim bahwa pihak Asyurlah yang terpukul mundur. Jika benar pemenangnya adalah pihak selatan, maka kekalahan Asyur bukanlah kerugian besar, kerana angkatan perang Asyur mengepung kota Babel pada akhir musim panas tahun 690 SM (dan tampaknya sampai dengan saat itu kota Babel sudah cukup lama dikepung). Walaupun demikian, angkatan perang Asyur tidak segera dikerahkan ke Babel, kerana ada keterangan mengenai aksi-aksi ketenteraan Asyur di tempat-tempat lain.[67] Asiriolog John A. Brinkman mengemukakan di dalam tulisannya pada tahun 1973 bahwa agaknya pihak selatan yang memenangkan pertempuran tersebut, kendati mungkin sekali banyak prajurit mereka menjadi korban, kerana kedua musuh Sanherib masih berkuasa di kerajaan mereka masing-masing seusai Pertempuran Halule.[68] Asiriolog Louis D. Levine mengemukakan di dalam tulisannya pada tahun 1982 bahwa Pertempuran Halule mungkin sekali dimenangkan pihak Asyurwalaupun tidak menang telak, dan Walaupun pihak selatan dapat dikalahkan dan dipukul mundur, serangan Asyur terhadap kota Babel harus ditangguhkan untuk sementara waktu. Teralihkannya pergerakan angkatan perang Asyur dari sasaran yang semula hendak diperangi mungkin ditafsirkan para pujangga Babel sebagai penarikan mundur pasukan.[69]

Pada tahun 690 SM, Humban-Numena mengalami strok. Rahangnya lumpuh sehingga ia tidak dapat berbicara.[70][71] Kelemahan ini dimanfaatkan Sanherib untuk melancarkan serangan pamungkasnya terhadap Babel.[71] Walaupun pihak Babel mula-mula unggul, kemenangan mereka tidak bertahan lama. Pada tahun yang sama, Sanherib melancarkan perang pengepungan terhadap kota Babel.[68] Agaknya Babel sudah berada di ujung tanduk saat jatuh ke tangan Sanherib pada tahun 689 SM, sesudah dikepung selama lima belas bulan.[72] Walaupun pernah berpikir bahwa nasib yang menimpa ayahnya adalah azab dewa-dewa yang murka melihat Sargon merebut kota Babel, sikap Sanherib terhadap kota itu berubah pada tahun 689 SM. Sanherib akhirnya memutuskan untuk meluluhlantakkan Babel. Brinkman yakin kalau perubahan sikap Sanherib lahir dari niat untuk membalas dendam atas kematian Puteranya sekaligus dari rasa jenuh mengurusi sebuah kota di dalam wilayah kedaulatannya yang berulang kali memberontak. Menurut Brinkman, mungkin saja Sanherib sudah kehilangan rasa hormatnya terhadap dewa-dewa Babel kerana dewa-dewa itu telah mengilhami para penyembah mereka untuk menyerang dirinya. Uraian Tawarikh Sanherib mengenai peluluhlantakan kota Babel adalah sebagai berikut:[72]

Ke dalam negeriku, kugiring hidup-hidup Mušēzib-Marduk, Raja Babel, berikut keluarga dan para pembesarnya. Dari kotanya kuambil perak, emas, batu mulia, dan berbagai harta benda, untuk kuberikan kepada rakyatku, supaya menjadi kepunyaan mereka. Tangan-tangan rakyatku mengambil dewa-dewa yang bersemayam di kota itu dan meremukkan mereka, lalu merampas harta benda mereka.
Kuhancurkan kota itu berikut rumah-rumah di dalamnya, kululuhlantakkan dan kubumihanguskan dari landasan sampai ke puncak temboknya. Kubongkar batu-bata dan tanah dari tembok kota sebelah luar maupun sebelah dalam, dari kuil-kuil, dan dari zigurat, lalu kubenamkan semuanya ke dalam terusan Araḫtu. Kugali terusan-terusan melewati pusat kota itu, lalu kupenuhi dengan air, landasan-landasannya kumusnahkan, dan kutimpakan kebinasaan melebihi kebinasaan akibat air bah. Supaya kemudian hari mustahil ada orang yang dapat mengenali kota itu dan kuil-kuilnya, kugenangi tempat itu dan kujadikan sama seperti rawa-rawa.[72]

Walaupun Sanherib menghancurkan kota itu, tampaknya ia masih mengkhawatirkan murka dewa-dewa kuno bangsa Babel. Pada bahagian awal dari uraiannya tentang kempen ketenteraan itu, ia secara spesifik menyebutkan bahwa kuil-kuil para dewa Babel adalah penyandang dana musuh-musuhnya. Kalimat yang memerikan aksi penjarahan harta benda para dewa dan penghancuran patung-patung mereka adalah satu dari penjabaran Sanherib yang menggunakan kata "rakyatku" alih-alih "aku".[72] Pada tahun 1973, Brinkman menafsirkan uraian tersebut sebagai usaha cuci tangan Sanherib, agar yang dapat dituding sebagai biang keladi kehancuran Babel bukan dirinya sendiri melainkan keputusan para pegawai kuil dan tindakan rakyat Asyur.[73]

Ketika meluluhlantakkan Babel, Sanherib menghancurkan kuil-kuil maupun patung-patung para dewa, kecuali patung Dewa Marduk yang ia boyong ke Asyur.[74] Kebijakan tersebut menimbulkan kecemasan di Asyur, kerana bangsa Asyur menyegani kota Babel maupun dewa-dewanya.[75] Sanherib mencoba membuat tindakannya benar di mata bangsa Asyur dengan cara melancarkan sebuah kempen religius.[76] Salah satu unsur dari kempen ini adalah penciptaan mitos Dewa Marduk dihakim Dewa Asyur. Peninggalan tertulis yang memuat mitos ini sudah tidak utuh lagi, tetapi dapat disimpulkan bahwa menurut mitos ini Marduk terbukti sudah melakukan sejumlah pelanggaran berat.[77] Sanherib memaparkan perjuangannya memberantas pemberontakan bangsa Babel dengan gaya penuturan mitos penciptaan dunia ala Babel, yakni dengan menyamakan kota Babel dengan dewi iblis Tiamat dan menyamakan dirinya dengan Marduk.[78] Dewa Asyur menggeser tempat Marduk di dalam perayaan tahun baru. Selain itu, Sanherib menyimpan sebongkah puing kota Babel di dalam kuil perayaan tahun baru.[79] Semua kebijakan ini menyemai kebencian di dalam hati sebahagian besar rakyat Babel.[80]

Tujuan Sanherib adalah sepenuhnya menghapus keberadaan Babel sebagai sebuah entitas politik.[81] Walaupun sejumlah daerah di kawasan utara wilayah Kerajaan Babel dijadikan daerah-daerah Kerajaan Asyur, bangsa Asyur sama sekali tidak berusaha membangun kembali kota Babel, dan tawarikh-tawarikh selatan pun mulai menyebut zaman itu sebagai zaman "tanpa raja", yakni kurun waktu Kerajaan Babel tidak beraja.[73]

Pemugaran kota Niniwe

Gambar rekonstruksi Niniwe yang dibuat Austen Henry Layard, arkeolog Inggris pada abad ke-19
Gambar rekonstruksi "Istana Tanpa Tanding" yang dibuat John Philip Newman pada tahun 1876

Seusai perang terakhir melawan Babel, Sanherib menyibukkan diri membangun ibu negara baru di Niniwe alih-alih melancarkan kempen-kempen ketenteraan.[71] Niniwe sendiri sudah ribuan tahun menjadi kota penting di kawasan utara Mesopotamia. Jejak-jejak tertua keberadaan permukiman manusia di Niniwe berasal dari milenium ke-7 SM, dan kota ini sudah menjadi pusat administratif yang penting di kawasan utara Mesopotamia sejak milenium ke-4 SM.[82] Ketika ditetapkan Sanherib sebagai ibu negara baru, Niniwe menjadi lokasi pelaksanaan projek-projek pembangunan terambisius sepanjang sejarah Abad Kuno. Kota itu tidak lagi terlantar seperti keadaannya sebelum masa pemerintahan Sanherib.[83] Sementara Dur-Syarukin, ibu negara baru Sargon II, kurang lebih merupakan kembaran kota Nimrud, Sanherib berniat mengubah Niniwe menjadi kota dengan kemegahan dan ukuran yang mampu membuat seluruh dunia beradab terkesima.[84]

Prasasti-prasasti tertua yang membicarakan projek pembangunan di Niniwe diperkirakan berasal dari tahun 702 SM dan berkenaan dengan pembangunan Istana Barat Daya, sebuah hunian raksasa yang berlokasi di kawasan barat daya kota.[27] Sanherib menamakan gedung ini ekallu ša šānina la išu, "Istana Tanpa Tanding".[85] Demi membangun istana ini, sebuah istana kecil dirubuhkan, saluran air yang sudah menggerus beberapa bahagian bukit tempat istana itu berdiri dialihkan alirannya, dan pelataran yang nantinya menjadi tempat berdirinya tempat istana baru dibuat setinggi 160 lapis batu-bata. Walaupun banyak dari prasasti-prasasti tersebut menjabarkan istana baru Sanherib seakan-akan sudah rampung dibangun, sesungguhnya penjabaran semacam itu hanyalah kaidah baku dalam penyusunan karya tulis mengenai projek-projek pembangunan di Asyur pada Abad Kuno. Oleh kerana itu penggambaran Niniwe di dalam catatan-catatan terawal Sanherib mengenai kegiatan pemugaran kota itu sesungguhnya adalah penggambaran Niniwe yang diangankan Sanherib pada saat catatan-catatan tersebut dibuat.[27]

Pada tahun 700 SM, tembok-tembok balairung Istana Barat Daya didirikan, disusul pembuatan relief-relief yang menghiasinya. Tahap terakhir pembangunan adalah penempatan patung-patung banteng dan singa raksasa yang menjadi ciri khas arsitektur Asyur Akhir. Walaupun patung-patung banteng dan singa dari batu sudah ditemukan dalam kegiatan ekskavasi di Niniwe, patung-patung sejenis yang menurut prasasti-prasasti terbuat dari logam-logam mulia tidak kunjung ditemukan. Sementara itu, atap Istana Barat Daya terbuat dari kayu saru dan kayu aras dari daerah pegunungan di sebelah barat, ruangan-ruangannya diterangi sinar matahari dari jendela-jendela yang banyak jumlahnya, sementara dinding-dindingnya dihiasi pasak-pasak perak serta perunggu di sisi dalam dan batu-bata berglasir di sisi luar. Luas keseluruhan bangunan, termasuk bukit landasannya, mencapai 450 meter (1480 kaki) kali 220 meter (720 kaki) persegi. Tulisan yang terpahat pada patung singa batu di ruangan istana yang diduga sebagai bilik Tasymetu-syarat adalah rangkaian kata-kata yang mengandung harapan agar sang raja beserta permaisuri senantiasa hidup sehat walafiat dan panjang umur di istana baru.[86] Isi tulisan tersebut adalah sebagai berikut:[87]

Bagi rani Tasymetu-syarat, istriku tercinta, yang dikaruniai Belet-ili kemolekan melebihi semua wanita, kubangunkan mahligai asmara, sukacita, dan kesenangan. [...] Dengan ketentuan Asyur, ramanda para dewa, dan Istar, sri rani swargaloka, dirgahayulah kiranya kita berdua, hidup waras berbahagia di dalam istana ini, dan menikmati kesentosaan yang paripurna.[87]

Denah tata ruang kota Niniwe (kiri) dan peta bukit Kuyunjik (kanan), tempat istana Sanherib dibangun. Istana Utara yang tampak pada peta bukit Kuyunjik pertama kali dibangun pada masa pemerintahan cucu Sanherib, Asyurbanipal.

Sekalipun mungkin sekali dirancang sedemikian rupa agar mirip dengan istana yang dibangun Sargon di Dur-Syarukin, istana Sanherib berikut karya-karya seni yang menghiasinya menampakkan sejumlah perbedaan. Relief-relief Sargon biasanya menampilkan citra raja sama tinggi dengan citra-citra para bangsawan Asyur, tetapi relief-relief Sanherib pada umumnya menampilkan citra raja lebih tinggi daripada semua citra lain di dekatnya, kerana ditampilkan berdiri di atas kereta perang. Relief-relief Sanherib menampilkan gambar-gambar pemandangan yang lebih luas, beberapa di antaranya nyaris tampak seperti tampilan dari sudut pandang mata burung. Ada pula contoh-contoh pendekatan naturalistis dalam seni rupa. Sebagai contoh, patung-patung banteng raksasa di istana Sargon dibuat berkaki lima sehingga tampak berkaki jika dipandang dari samping dan berkaki dua jika dipandang dari depan, tetapi semua patung banteng di istana Sanherib dibuat berkaki empat saja.[86] Sanherib menghiasi istana barunya dengan taman-taman yang asri. Ia mendatangkan beragam jenis tumbuh-tumbuhan dan tanaman obat dari seluruh pelosok empayar, bahkan ada yang didatangkan dari luar wilayah kekuasaannya. Tumbuhan kapas mungkin didatangkan dari India. Beberapa pihak menduga bahwa Taman Gantung Babel, salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Kuno, sesungguhnya adalah taman-taman di Niniwe, tetapi kebenaran dugaan ini diragukan Eckhart Frahm.[88]

Selain istana, Sanherib juga membangun gedung-gedung lain di Niniwe. Ia mendirikan satu lagi istana di bukit selatan kota itu, yang kemudian digunakan sebagai sebagai gudang senjata sekaligus barak prajurit. Sejumlah besar kuil dibangun dan dipugar, banyak di antaranya didirikan di atas bukit Kuyunjik (lokasi Istana Barat Daya), antara lain kuil Dewa Sîn, dewa yang namanya terselip di dalam nama Sanherib. Niniwe diperluas secara besar-besaran ke arah selatan, dan tembok-tembok raksasa didirikan melingkarinya, lengkap dengan parit sebagai pengaman tambahan. Tinggi tembok mencapai 25 meter (82 kaki) dan ketebalannya mencapai 15 meter (49 kaki).[88]

Konspirasi, pembunuhan, dan suksesi

Pelarian Adramelek, ilustrasi dari Galeri Alkitab Dalziel Bersaudara (1881), menggambarkan Arda-Mulisyi dan Nabu-syar-usur melarikan diri sesudah membunuh Sanherib

Sesudah Asyur-nadin-syumi wafat (diduga dihukum mati bangsa Elam), Sanherib mengangkat Putera tertuanya yang masih hidup, Arda-Mulisyi, menjadi Putera mahkota. Arda-Mulisyi hanya menjadi Putera mahkota sampai tahun 684 SM, kerana pada tahun itu Sanherib mendadak mengangkat Esarhadon menjadi Putera mahkota yang baru. Alasan penggantian Arda-Mulisyi tidak diketahui, yang jelas prasasti-prasasti dari masa itu menyebutkan bahwa ia merasa sangat kecewa.[89] Mungkin saja Naqi'a, ibu Esarhadon, adalah orang yang telah memengaruhi Sanherib untuk memilih Esarhadon menjadi penerusnya.[90] Walaupun sudah dicopot dari jabatannya, Arda-Mulisyi masih populer, bahkan beberapa raja negeri jajahan secara rahasia mendukung dirinya menjadi ahli waris takhta.[91]

Sanherib memaksa Arda-Muliyi untuk berprasetia kepada Esarhadon, tetapi Arda-Mulisyi berulang kali memohon kepada ayahnya untuk diangkat kembali menjadi ahli waris takhta.[89] Sanherib mengendus peningkatan popularitas Arda-Mulisyi sehingga mengkhawatirkan keselamatan Esarhadon. Oleh kerana itu, ia mengutus Esarhadon ke provinsi-provinsi di selatan. Pemencilan Esarhadon membuat Arda-Mulisyi berada di posisi yang sulit, kerana ia sudah mencapai puncak popularitas tetapi tidak dapat mengapa-apakan adiknya. Arda-Mulisyi akhirnya memutuskan untuk bertindak cepat merebut takhta.[91] Ia membuat "kesepakatan makar" dengan adiknya, Nabu-syar-usur, lalu menyergap dan membunuh ayah mereka di dalam salah satu kuil di kota Niniwe (mungkin kuil Dewa Sîn) pada tanggal 20 Oktober 681 SM.[89][88]

Pembunuhan Sanherib, penguasa salah satu kemaharajaan terkuat di muka bumi kala itu, membuat orang-orang sezamannya terperangah. Masyarakat Timur Dekat menanggapi kabar kemangkatan Sanherib dengan penuh emosi dan perasaan yang campur aduk. Penduduk Masyrik dan rakyat Babel menyambut gembira kematian Sanherib yang mereka yakini sebagai azab ilahi atas tindakan brutal Sanherib terhadap diri mereka, sementara rakyat Asyur mungkin sekali menanggapinya dengan gerutu dan ketakutan. Banyak sumber mengabadikan peristiwa itu, antara lain Alkitab (2 Raja-Raja 19:37, Yesaya 37:38), dimana Arda-Mulisyi disebut dengan nama Adramelek.[91]

Walaupun berhasil menewaskan ayahnya, Arda-Mulisyi tidak dapat menguasai takhta. Tindakannya membunuh Raja Asyur menimbulkan rasa tidak senang di kalangan pendukungnya, sehingga penobatannya tertunda-tunda, sementara Esarhadon giat membentuk angkatan perang sendiri. Angkatan perang bentukan Arda-Mulisyi dan Nabu-syar-usur akhirnya berhadapan dengan angkatan perang Esarhadon di Hanigalbat, daerah di kawasan barat wilayah Kemaharajaan Asyur Baru. Sebahagian besar prajurit mereka membelot ke pihak Esarhadon, yang kemudian memimpin pasukannya memasuki Niniwe tanpa perlawanan. Esarhadon pun dinobatkan menjadi Raja Asyur yang baru. Tidak lama sesudah naik takhta, Esarhadon menghukum mati semua anggota komplotan makar dan musuh-musuh politik yang dapat ia bekuk, termasuk keluarga saudara-saudaranya. Semua pelayan yang terlibat dalam kegiatan pengamanan istana raja di Niniwe dihukum mati. Arda-Mulisyi dan Nabu-syar-usur lolos dari aksi pembersihan ini. Keduanya melarikan diri dan hidup sebagai orang buangan di Kerajaan Urartu nun jauh di utara.[89][92]